17.4.06

Ih, Playboy

sumber: refleksi, banjarmasin post,17 april 2006

KONON adalah Shakespeare yang berujar ‘Apalah artinya sebuah nama? (What is a name?)". Maksudnya adalah, apalah artinya nama besar karena darah bangsawan manakala perilakunya tidak menunjukkan kehormatan sebagai kaum bangsawan. Dan apalah pula artinya status paria karena takdir dilahirkan sebagai orang awam kebanyakan, padahal senyatanya yang bersangkutan merupakan ‘orang terpilih’ yang sepatutnya layak dihormati lebih dari kaum bangsawan yang terhormat itu sendiri.

Tapi dalam realitas sosial masa kini soal nama itu ternyata amat penting. Dan gara-gara sebuah nama pula maka majalah Playboy versi Indonesia yang edisi perdananya terbit awal April ini menjadi gunjingan hebat.

Gunjingan pertama, Pemerintah Indonesia telah kecolongan dengan memberikan izin terbit pada ‘majalah porno’, padahal RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi sedang amat sangat serius digodok oleh para wakil rakyat yang amat terhormat di DPR.

Gunjingan kedua, terbit dan beredarnya majalah Playboy versi Indonesia jelas merupakan ‘tamparan’ bagi bangsa Indonesia yang dikenal agamis dan memiliki adat ketimuran yang adiluhung.

Gunjingan ketiga, gara-gara terbitnya majalah Playboy versi Indonesia itu maka makin lengkaplah fasilitas yang merusak moral bangsa ini.

Dan karena penasaran, saya pinjam majalah Playboy versi Indonesia itu dari seorang penjual majalah pinggir jalan untuk melihat apa gerangan isinya. Alamak. Jauh panggang dari api. Majalah Playboy versi Indonesia itu ternyata kalah ‘hot’ dibanding beberapa ‘majalah khusus lelaki dewasa’ (ikon yang biasa digunakan oleh penerbit majalah yang mengumbar aurat perempuan) yang juga dijual bebas oleh pedagang majalah pinggir jalan. Masalahnya, mengapa justru majalah Playboy versi Indonesia itu saja yang dihujat habis-habisan bak majalah terkutuk yang bikin sial kalau melihatnya.

Saya tidak anti dengan pengelola majalah macam Playboy versi Indonesia itu karena apa hak saya untuk melarang mereka mencari nafkah? Tetapi saya juga tidak menjadi bagian konsumen fanatik majalah macam itu karena bagi saya apa asyiknya mempelototi berlama-lama gambar mati (yang konon merangsang syahwat itu) sementara pekerjaan lain yang lebih bermanfaat masih banyak yang terbengkalai.

Alhasil, saya lalu agak bingung. Mengapa kita harus menghabiskan energi untuk menggunjingkan majalah Playboy versi Indonesia? Penyakit utama yang merusak bangsa ini bukanlah masalah seks, tetapi korupsi dan penyakit dusta pejabat publik sehingga begitu banyak orang yang ‘nganggur’ tidak ada kerjaan produktif dan lalu pikirannya ‘ngeres’ asyik membayangkan hal-hal yang mesum.

Saya yakin, bahkan haqul yaqin, kalau sekiranya kita itu amat sibuk dengan pekerjaan produktif niscaya tidak akan berminat untuk menghabiskan waktu membolakbalik majalah super porno sekalipun.

Saya pernah berkunjung ke tiga negara Eropa Barat yang terkenal dengan kebebasan seksnya dan melihat bagaimana peredaran ‘majalah porno’ di sana. Ternyata majalah porno tidaklah terlalu banyak peminatnya kendati dijual bebas di outlet-oulet tertentu. Kesan saya, dalam perspektif sosiologis ternyata persoalan seks di wilayah publik dalam bentuk peredaran gambar-gambar porno rupanya dapat dieliminir ketika pemerintah memiliki regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang tegas. Dan sebatas yang saya tahu, orang-orang di sana itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga kurang memiliki waktu untuk menggunjingkan hasrat libido orang lain.

Tapi, itu negara Eropa Barat, bung! Kita ini di Indonesia!!! Sergah seorang kawan dengan sewot.

Saya balik bertanya, memangnya orang di Eropa Barat itu berbeda hasrat seksualnya dibanding kita di Indonesia?

Tapi melihat aurat orang lain itu dilarang agama, tahu?!! Walaupun cuma sekadar gambar!!!

Lho, kalau memang beragama dengan baik dan benar, mengapa banyak di antara kita ini justru bersemangat betul melihat-lihat gambar aurat orang lain?

Tapi kita ini orang Timur yang punya adat kesopanan dan pandai memelihara aurat!!! Sergah kawan itu lagi dengan tensi makin tinggi.

Saya tidak balik menanggapi. Saya cuma bagaritik hati, orang Timur itu siapa? Padahal yang benar-benar negeri di Timur itu adalah Jepang (ingat, sebutannya saja negeri matahari terbit) dan konon di Jepang sana soal gambar perempuan telanjang tidak pernah jadi masalah perdebatan publik.

Kembali ke soal majalah Playboy versi Indonesia, saya pikir majalah itu bisa laku keras karena yang berminat pada majalah itu memang ‘playboy’. Dan kalau boleh jujur, urang Banjar sendiri sudah lama mengenal Playboy, cuma namanya saja ‘Baung’. Makanya ada sergahan bernada memaki, "Dasar Baung!!!"

Apakah kita perlu usulkan untuk dilakukannya juga sweeping untuk para Baung, eh, ‘Playboy’ yang banyak kelayapan di diskotik-diskotik Banjarmasin dan atau suka mampir di warung-warung malam pinggir jalan tertentu di jalur trans Kalimantan?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home